Selasa, 20 Mei 2008

Pergulatan Politik dan Hukum dalam Sengketa Pilkada Sulsel

Oleh: Dody Wijaya
Dikirim ke redaksi Jawapos dan Kompas
Email: dody_stemba@yahoo.com


Hasil PK Pilgub Sulsel telah diumumkan Rabu (19/3) oleh MA. KPUD menetapkan Sayang (Syahrul Yasin Limpo-Agus Nu’mang) sebagai pemenang dengan suara 39,53%. Kubu Asmara (Amin Syam- Mansyur Ramli) yang meraih 38,7% langsung menggugat ke MA. Persoalan menjadi rumit ketika MA memutuskan pencoblosan ulang di 4 kabupaten. KPUD melakukan PK terhadap putusan itu. (JawaPos, 19/3). Dan pada akhirnya MA mengeluarkan putusan PK No 02/PK/KPUD/2008, tanggal 18 Maret 2008 yang membatalkan keputusan sebelumnya (kasasi) yang memerintahkan KPUD menggelar pilkada ulang di empat kabupaten di Sulsel. Syahrul dipastikan akan segera dilantik sebagai gubernur Sulsel (Jawapos, 21/3).


Pergulatan Politik dan Hukum : Law is a Political Decision
Masyarakat banyak merasa heran melihat hukum tidak seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Hubungan antara politik dan hukum disebut sebagai kajian tentang politik hukum, yaitu kebijaksanaan hukum (legalpolicy) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum (politisasi hukum) dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Asumsi dasarnya, hukum merupakan produk politik (law is a political decision), hukum dipandang sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa otonomi hukum di Indonesia diintervensi oleh politik. Sri Soemantri pernah mengkonstatasi hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Hal itu terjadi karena di dalam prakteknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik.( Mahfud MD, 1993)

Sengketa Pilkada Sulsel: Sebuah Realitas Pergulatan Politik Hukum
Proses sengketa Pilkada Sulsel penuh dengan kontroversi dimana terjadi 3 kali putusan hukum yang menunjukkan terjadinya pergulatan antara politik dan hukum dalam Pilkada ini. Disadari konstelasi dan konfigurasi di dalam kehakiman (MA), KPUD, dan para elite politik yang “bersengketa” dalam pilkada ini sangat mewarnai lahirnya produk hukum sengketa Pilkada ini.
Pertama, SK KPUD Sulsel No 086/P-KWK-SS/XI/2007, nampak jelas konstelasi politik disana banyak mendukung atau paling tidak “menguntungkan” kubu Sayang, dukungan birokrasi (terutama PNS yang sangat telihat ketika terjadi sengketa), begitu pula dengan dukungan KPUD nampak memenangkan pertarungan politik hukum disana sehingga meskipun dilaporkan oleh Kubu Asmara terhadap indikasi-indikasi kecurangan Pilkada, namun tetap tidak merubah produk hukum KPUD Sulsel untuk memenangkan kubu Sayang.
Kedua, Putusan MA No: 02/P/KPUD/2007, muncul ketika kubu Asmara merasa sudah tidak ada dukungan politis di daerahnya termasuk dari KPUD, maka diajukanlah gugatan kepada MA yang bisa jadi kubu Asmara memiliki “kekuatan” disana, juga dukungan dari Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar terhadap calon dari partainya tersebut, sehingga lahirlah produk hukum yang kontroversial dimana MA memenangkan gugatan Asmara dengan menggelar Pilkada Ulang di 4 kabupaten.

Proses selanjutnya pergulatan politik diantara keduanya berlanjut, nampak KPUD Sulsel ngotot melakukan PK terhadap putusan MA (terlihat kembali dukungan KPUD terhadap kubu Sayang cukup besar) dan karena komposisi hakim MA yang dipimpin langsung Bagir Manan berbeda dengan sebelumnya maka konstelasi dukungan politik dari MA serta kekuatan Politik Kubu Sayang yang kuat serta tekanan politik di daerah seperti demonstrasi, kerusuhan, konflik-konflik horizontal dan kritik-kritik di MA dan Pemerintah akhirnya mampu merubah putusan MA dengan memenangkan PK KPUD Sulsel dengan Putusan PK MA No 02/PK/KPUD/2008.
Nampak jelas bahwa yang terjadi pada Pilkada Sulsel adalah pertarungan dan pergulatan Politik dan Hukum, dimana terjadi tolak-tarik antara “merubah keputusan politik dengan instrumen hukum serta merubah putusan hukum (putusan MA) yang juga dilakukan dengan intervensi politik sehingga menghasilkan produk hukum yang menguntungkan salah satu pihak yang berkepentingan”. Dengan demikian jelaslah bahwa hukum adalah putusan politik (law is a political decision). Dan aksioma politik hukum di Indonesia konstatasi hubungannya ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya juga terjadi dalam realitasnya. Semoga proses Pilkada yang membutuhkan banyak energi, banyak biaya termasuk cost sosial dan cost politik yang besar ini akan membawa perubahan di rakyat Sulawesi Selatan bukan sekedar permainan demokrasi semu (pseudo demokrasi).
Politik hukum yang benar akan dapat ditegakkan dengan etika politik (fatsun politik) yang baik dan political will yang benar.

Tidak ada komentar: