Selasa, 20 Mei 2008

Studi Politik Hukum di Indonesia

Studi Politik Hukum Indonesia
Oleh: Dody Wijaya

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (norma atau kaidah) perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa masyarakat itu. Petunjuk hidup itu harus dilengkapi atau dikuatkan dengan anasir yang bersifat memaksa (element van dwang). Dengan kata lain hukum adalah kaidah adalah petunjuk hidup yang memaksa. (E Utrecht)

Hukum merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat (levensvoorschriten) sehingga hukum akan selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Hukum disebut-sebut sebagai ”is a tools and engineering society’s”, dengan demikian hukum adalah instrumen yang tepat untuk mengatur, memaksa, dan menegakkan keadilan dan kebenaran di masyarakat. Semboyan hukum yang sering dijadikan adagium di dunia hukum adalah fiat justitia ruat coelum, ”tegakkanlah hukum meskipun langit akan runtuh”. Hukum dianggap berfungsi sebagai penegak keadilan dan kepastian hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika, analisis normatif dan dogmatis merupakan satu-satunya cara yang dianggap paling memadai, dan tidak diperlukan metode dan pendekatan (approach) yang lain untuk membantu melakukan pengkajian hukum. Metode normatif dan dogmatis demikian, dipandang mencukupi kebutuhan (self-sufficient), sedang hukum makin menjadi bidang yang esoterik. Keadaan dan perkembangan demikian, tentunya berhubungan dengan peranan yang semakin besar dari hukum dalam mendukung dan mengamankan kemajuan masyarakat sebagaimana dise-butkan di atas, serta kepercayaan yang semakin besar kepada hukum.(Satjipto Rahardjo)

Namun, suasananya segera menjadi berbeda, tatkala cara-cara memandang dan menjalankan hukum yang demikian itu berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat keberhasilan dari modernisasi dan industrialisasi. Kedudukan individu sekarang mulai disaingi oleh tampilnya subjek-subjek lain, seperti komuniti, kolektiva, dan negara. Bidang-bidang yang kemudian menjadi makin menonjol adalah hukum publik, hukum administrasi, hukum sosial-ekonomi, dan lain sebagainya. Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat

Analisis yang tidak jauh berbeda dikemukakan Donald H. Gjerdingen. Gjerdingen menjelaskan bahwa pendapat beberapa aliran hukum konvensional yang menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Pendapat yang menafikan relasi hukum dengan entitas bukan hukum menyebabkan hukum cenderung membatasi diri pada hal-hal yang sangat teknis, sehingga permasalahan yang muncul akibat dari interaksi antara hukum dan politik misalnya, tidak bisa dijelaskan.(Donald H. Gjerdingen)

Dalam perkembangan masyarakat modern sekarang, dan konteks ke-Indonesiaan saat ini pun, masyarakat banyak merasa heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti yang dipahami dan dibayangkan sesuai kehendak masyarakat. Masyarakat banyak merasa heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.(Mahfud MD)

Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dari realitas sosial di atas menunjukkan hubungan antara politik dan hukum atau seringkali disebut sebagai kajian tentang politik hukum.

Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legalpolicy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

Politik dan hukum (Alfian) dapat diibaratkan sebagai dua sisi dari satu mata uang logam. Pengibaratan itu memberi makna bahwa hubungan antara politik dan hukum sangatlah erat. Bila kita membahas atau membicarakan penyelenggaraan negara atau pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah maka politik dan hukum selalu mendapat tempat yang utama. Pada masa Orde Baru bidang hukum selalu disatukan dengan bidang politik atau pembangunan hukum menjadi bagian dari pembangunan politik. Hal tersebut bukan berarti bidang politik dan hukum atau masing-masing bidang tersebut tidak erat kaitannya dengan bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial budaya, hankam, luar negeri dan sebagainya. Tetapi hubungan hukum dan politik melebihi keeratan hubungan kedua bidang tersebut dengan bidang-bidang lainnya itu. Hukum selalu menjadi sarana dari politik untuk mempengaruhi, membangun dan mengembangkan bidang-bidang lainnya itu. Dalam hal inilah berlaku tesis bahwa "hukum adalah putusan politik" (law is a political decision).

Alfian menyebutkan "Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat dicari dalam bidang hukum tata negara (constitutional law) Bidang ini mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. la menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota masyarakat (warga negara), serta bagaimana peraturan permainan politik yang sebenarnya harus berlaku. Semua hal itu dikupas secara legal formal, yaitu sebagaimana yang diinginkan oleh Undang Undang Dasar. Dari situ akan terlihat kerangka formal dari suatu bentuk pemerintahan yang dianggap mencerminkan suatu sistem politik yang ideal.

Dalam kenyataan sehari-hari, apa yang diatur secaral formal (hukum) itu tidak selalu diikuti secara seksama. Bahkan kadang-kadang tampak bahwa praktek-praktek politik yang berlaku dengan seenaknya menginjak-injak konstitusi yang ada, sebagaimana sering terlihat pada waktu seseorang atau satu golongan atau kelompok memaksakan kekuasaannya dengan jalan kekerasan tanpa mengindahkan peraturan permainan politik. Sistem politik (ideal) menjadi sangat berbeda dan mungkin sekali bertentangan dengan sistem politik yang riil berlaku. Sebagian ahli mungkin melihat kenyataan seperti itu sebagai suatu pemerkosaan terhadap hukum ketatanegaraan. Pemakaian kekuasaan politik yang sewenang-wenang seperti itu biasanya juga cenderung untuk memperkosa hukum yang mengatur bidang-bidang lain seperti perekonomian dan kepegawaian. Peningkatan pengetahuan atau kesadaran politik bisa dilakukan melalui proses politik masyarakat, semakin mudah pula mereka melihat apakah praktek-praktek politik yang berlaku dapat dikatakan menyeleweng atau tidak. Mempercepat proses pendidikan politik berarti menuntut lebih banyak dari kita semua atau terutama dari mereka yang duduk dalam pemerintahan, untuk menjaga dan mempertahankan kemantapan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada dan ingin dibangun.
Tuntutan itu menghendaki agar supaya tingkah laku politik semakin disesuaikan dengan kehendak peraturan-peraturan hukum yang mengaturnya, seperti bagaimana kekuasaan itu harus dipakai dan dibagi. Di sinilah ditemukan kembali hubungan yang erat antara hukum dan politik.

Disertasi Politik Hukum di Indonesia
Disertasi doktor Moh Mahfud MD yang dibuat di UGM (1993) yang berjudul ”Politik Hukum di Indonesia”, menyimpulkan bahwa fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali di intervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia, perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ ortodoks. Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokratis dan otoriter, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dengan tolak tarik antara yang responsif dan konservatif.
Kesimpulan studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum yang berkarakter responsif/ populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Setiap orang dan setiap masyarakat yang mencintai keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif. Karena hukum responsif hanya dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis, dan untuk melahirkan hukum-hukum yang responsif maka diperlukan demokratisasi di dalam kehidupan politik.

Tidak ada komentar: