Sabtu, 24 Mei 2008

Seandainya Bisa Berdiskusi Dengan Prof. Dr. Mahfud MD

Prof. Dr. Mahfud MD, seorang yang telah kaffah di dalam menikmati dinamika politik di Indonesia, tidak tanggung-tanggung berbagai lembaga politik dalam trias politica pernah dirasakannya mulai dari eksekutif (sebagai menteri Pertahanan Keamanan di masa Gus Dur), sebagai legislatif (Anggota DPR RI dari FKB) hingga Yudikatif (Hakim Mahkamah Konstitusi) Luar biasa...
Mengapa luar biasa...karena beliau merintis karir dari seorang akademisi, sebagai seorang ahli hukum bahkan perumus konsep politik hukum Indonesia dengan disertasinya yang cukup terkenal "Politik Hukum di Indonesia) yang memotret pola politik hukum pemerintahan masa Orde lama dan Orde baru.
Ingin rasanya saya meneruskan karya besarnya di bidang studi politik hukum Indonesia dengan melanjutkan studi politik hukum Indonesia masa reformasi khususnya masa SBY. Namun karena keterbatasan data, kapasitas intelektual serta waktu studi saya barangkali saya hanya "mampu" untuk memotret politik hukum masa SBY dari satu studi kasus (case studi) di produk UU politik.

Namun, masih banyak pertanyaan-pertanyaan besar yang ingin sekali saya dialogkan dengan beliau (Prof Dr Mahfud MD) tentang berbagai konsep dan indikator khususnya di dalam merumuskan konfigurasi politik..tentang demokrasi.
Namun, sekali lagi namun..saya tidak punya kesempatan ataupun akses terhadap beliau apalagi sekarang beliau sudah banyak sibuk sebagai hakim MK dan sudah tidak banyak lagi menulis di media (saya termasuk salah satu penggemar tulisan-tulisan dan buku-bukunya)...
Seandainya saya diberi kesempatan berdiskusi dengan beliau, rasanya dahaga pengetahuan ini menjadi lega dan memberikan saya semangat untuk menggarap studi politik hukum masa SBY ini..
Adakah yang bisa membantu saya, barangkali ada yang tahu alamat email beliau, atau kesempatan-kesempatan untuk berdiskusi dengan beliau mungkin dari agenda seminar di Surabaya...
Wah seandainya..
Politik Hukum Masa SBY
Oleh: Dody Wijaya

Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum yang berkarakter responsif/ populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Setiap orang dan setiap masyarakat yang mencintai keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif. Karena hukum responsif hanya dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis, dan untuk melahirkan hukum-hukum yang responsif maka diperlukan demokratisasi di dalam kehidupan politik.

Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu wacana yang berhembus demikian kuat sejak Mei 1998. 
Dengan semangat pembaharuan era reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998 dicita-citakan memberikan perubahan konfigurasi politik dari otoriter seharusnya ke demokratis, yang seharusnya juga akan berimplikasi kepada perubahan karakter produk hukum maupun penerapan hukum itu sendri.  Orde Reformasi, merupakan momen krusial bagi tegaknya supremasi hukum di negeri ini. Pada saat itu hampir seluruh bangsa Indonesia telah sepakat bahwa tegaknya supremasi hukum menjadi prasyarat mendasar bagi terwujudnya model masyarakat madani yang egaliter dan demokratis.

Dalam disertasi yang dihasilkan oleh Mahfud MD, studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum yang berkarakter responsif/ populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Hukum responsif hanya dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis, dan untuk melahirkan hukum-hukum yang responsif maka diperlukan demokratisasi di dalam kehidupan politik.

Apakah dalam realitanya produk demokratisasi politik era Susilo Bambang Yudhoyono telah benar-benar mampu menghasilkan produk-produk hukum yang responsif ataukah sebaliknya masih banyak produk-produk hukum yang berkarakter ortodoks/ konservatif. Dan apakah benar konfigurasi politiknya telah menghasilkan konfigurasi politik yang demokratis, ataukah masih tetap saja menghasilkan format konfigurasi politik yang non demokratis.

Saya mengajak para akademisi baik yang fokus studi di ilmu hukum, ilmu politik maupun lebih spesifik di studi politik hukum untuk bersama-sama mendiskusikan bagaimana sebenarnya pola politik hukum di Indonesia masa SBY. Sudahkah karakter produk hukum yang dihasilkan adalah karakter produk hukum yang responsif yang ini didasari oleh format konfigurasi politik yang demokratis.

Bagi para akademisi khususnya yang minat pada studi politik hukum dapat memberikan pandangan dan konsep-konsepnya tentang diskusi politik hukum kali ini.
Untuk mendiskusikan hal itu variabel utamanya adalah:
(1) Konfigurasi politik
(2) Karakter produk hukum

Menurut anda (akademisi) bagaimana konfigurasi politik di Indonesia saat ini (masa SBY) apakah (a) Demokratis, (b) Oligarkis, (c) Otoriter dan bagaimanakah karakteristik produk hukumnya apakah (a) Responsif atau (b) Konservatif/ elitis. Semua konsep bisa dikembangkan dari pemikiran studi politik hukum karya Mahfud MD atau bisa mengembangkan konsep, kategorisasi, maupun indikator-indikator untuk membuat definisi konsep tentang konfigurasi politik baik itu demokrasi maupun non demokratis. Ataupun pengembangan konsep dapat dilakukan pada konsep karakter produk hukum. Konsep dasar karakter produk hukum yang saya sebutkan di atas dikembangkan dari konsep Philippe Nonet & Philip Selznick, “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law".

Agar lebih fokus pendapat bisa difokuskan pada salah satu produk hukum (case study)yang saat ini masih menjadi perdebatan seru dan berimplikasi pada pertarungan politik di Pemilu 2009 yaitu pada produk hukum UU Paket Politik (UU Parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD, serta UU Pemilihan Presiden/Wapres).

Rumusan masalah lebih spesifik yang dapat kita diskusikan dan saya berharap komentar dari para akademisi adalah:
(1) Bagaimana konfigurasi politik masa pemerintahan SBY? Apakah Demokratis, Oligarkis, atau Otoriter ?
(2) Bagaimana karakter produk hukum paket UU politik masa SBY? Apakah Responsif atau Konservatif ?

Silahkan kirim pendapat anda melalui comment di blog ini atau di email saya:
dody_stemba@yahoo.com
dodystemba@gmail.com

Selasa, 20 Mei 2008

MEMBANGUN NALAR KRITIS MAHASISWA
Oleh: Dody Wijaya


Mahasiswa, bukanlah anak TK yang hanya bisa "pasrah bongkokan" dalam kuliah maupun melihat fenomena disekitarnya. Kelas bukanlah tempat pasar, tempat bertemunya dosen dan mahasiswa setelah itu selesai . . .BUKAN !!!
Mahasiswa adalah aktor intelektual, garda depan bangsa. . . kitalah yang nantinya membangun negeri ini menggantikan generasi yang telah uzur, kita lah generasi penerus . . .KAUM MUDA INTELEKTUAL

Seharusnya label itu tidak hanya menjadi simbol pembaharuan dan gerakan moral semata namun harus terwujud dalam aplikasi di lapangan baik itu di lapangan kuliah maupun dalam lapangan sosial politik kita. . .Mahasiswa, dituntut sebagai agen perubahan sosial memiliki sikap dan NALAR KRITIS dalam setiap sikapnya. Semua itu diawali dari kelas, kampus kita...Kelas, sekali lagi bukanlah "PASAR LOAK" tempat bertemunya ilmu antara penjual (dosen) dan pembeli (mahasiswa) yang hanya terjadi proses transfer of knowledge hanya sebatas transaksi tanpa ada REPRESENTASI...So masihkah kita tidak kritis dalam perkuliahan !!! Akal Pikiran bukanlah wadah kosong untuk diisi melainkan Api yang harus dinyalahkan, masihkah ingat dengan filosofi itu kawan. . .Namun apakah di kampus kita "PENJAJAHAN INTELEKTUAL" gaya konsumerisme intelektual akan terjadi . . .

Kalau melihat di mahasiwa angkatan-angkatan bawah (bukannya menyindir hanya menyampaikan kritis saja) saya melihat adanya penurunan nalar kritis mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi memiliki motivasi tinggi untuk mengingatkan dosen apalagi mengkritik dengan pedas apabila dosen salah, eh...malah asyik-asyiknya tidur, mengantuk, tidak konsentrasi atau hanya pasif diam seribu bahasa...(pertanyaan yang sering saya ajukan dalam hati...apa yang dipahami dan ditangkap oleh mereka...). Nah itulah yang saya lihat sekilas fenomena penurunan kualitas NALAR KRITIS MAHASISWA.

Yang saya pikirkan, kalau di kelas saja tidak ada nalar kritis (yang juga belum tentu memahami mata kuliah apalagi terampil???) bagaimana kalau nanti tampil di masyarakat, kalau kita tidak memliki nalar kritis tersebut so...kita pasti akan di "plokoto" oleh mereka-mereka yang sudah pakar....

Wah, jangan cuma melihat angkatan bawah donk!!! lihat pula angkatan kita sudahkah semua menghidupkan nalar kritisnya dalam perkuliahan, sudah 8 semester kita, hampir 4 Tahun kuliah kalau masih pasif yaa...jadi pembeli di kelas "Pasar Loak" saja...
Nah bagi teman-teman yang memiliki ide untuk MEMBANGUN NALAR KRITIS MAHASISWA, silahkan ditulis sekritis-kritisnya, minimal kita menghidupkan nalar kritis dimulai dari kita sendiri. Kalau kita tidak memiliki nalar kritis pasti kita tidak akan memiliki saya kreatif dan ide-ide pemecahan masalah yang jitu...
Lihat! orang-orang besar yang sukses karir dan punya posisi penting di organisasi pasti merekalah orang-orang yang memiliki NALAR KRITIS !!! Tertarik meyumbangkan ide untuk mencetak orang-orang besar...segera tulis komentar maupun artikel anda !!!
Pergulatan Politik dan Hukum dalam Sengketa Pilkada Sulsel

Oleh: Dody Wijaya
Dikirim ke redaksi Jawapos dan Kompas
Email: dody_stemba@yahoo.com


Hasil PK Pilgub Sulsel telah diumumkan Rabu (19/3) oleh MA. KPUD menetapkan Sayang (Syahrul Yasin Limpo-Agus Nu’mang) sebagai pemenang dengan suara 39,53%. Kubu Asmara (Amin Syam- Mansyur Ramli) yang meraih 38,7% langsung menggugat ke MA. Persoalan menjadi rumit ketika MA memutuskan pencoblosan ulang di 4 kabupaten. KPUD melakukan PK terhadap putusan itu. (JawaPos, 19/3). Dan pada akhirnya MA mengeluarkan putusan PK No 02/PK/KPUD/2008, tanggal 18 Maret 2008 yang membatalkan keputusan sebelumnya (kasasi) yang memerintahkan KPUD menggelar pilkada ulang di empat kabupaten di Sulsel. Syahrul dipastikan akan segera dilantik sebagai gubernur Sulsel (Jawapos, 21/3).


Pergulatan Politik dan Hukum : Law is a Political Decision
Masyarakat banyak merasa heran melihat hukum tidak seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Hubungan antara politik dan hukum disebut sebagai kajian tentang politik hukum, yaitu kebijaksanaan hukum (legalpolicy) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum (politisasi hukum) dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Asumsi dasarnya, hukum merupakan produk politik (law is a political decision), hukum dipandang sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa otonomi hukum di Indonesia diintervensi oleh politik. Sri Soemantri pernah mengkonstatasi hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Hal itu terjadi karena di dalam prakteknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik.( Mahfud MD, 1993)

Sengketa Pilkada Sulsel: Sebuah Realitas Pergulatan Politik Hukum
Proses sengketa Pilkada Sulsel penuh dengan kontroversi dimana terjadi 3 kali putusan hukum yang menunjukkan terjadinya pergulatan antara politik dan hukum dalam Pilkada ini. Disadari konstelasi dan konfigurasi di dalam kehakiman (MA), KPUD, dan para elite politik yang “bersengketa” dalam pilkada ini sangat mewarnai lahirnya produk hukum sengketa Pilkada ini.
Pertama, SK KPUD Sulsel No 086/P-KWK-SS/XI/2007, nampak jelas konstelasi politik disana banyak mendukung atau paling tidak “menguntungkan” kubu Sayang, dukungan birokrasi (terutama PNS yang sangat telihat ketika terjadi sengketa), begitu pula dengan dukungan KPUD nampak memenangkan pertarungan politik hukum disana sehingga meskipun dilaporkan oleh Kubu Asmara terhadap indikasi-indikasi kecurangan Pilkada, namun tetap tidak merubah produk hukum KPUD Sulsel untuk memenangkan kubu Sayang.
Kedua, Putusan MA No: 02/P/KPUD/2007, muncul ketika kubu Asmara merasa sudah tidak ada dukungan politis di daerahnya termasuk dari KPUD, maka diajukanlah gugatan kepada MA yang bisa jadi kubu Asmara memiliki “kekuatan” disana, juga dukungan dari Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar terhadap calon dari partainya tersebut, sehingga lahirlah produk hukum yang kontroversial dimana MA memenangkan gugatan Asmara dengan menggelar Pilkada Ulang di 4 kabupaten.

Proses selanjutnya pergulatan politik diantara keduanya berlanjut, nampak KPUD Sulsel ngotot melakukan PK terhadap putusan MA (terlihat kembali dukungan KPUD terhadap kubu Sayang cukup besar) dan karena komposisi hakim MA yang dipimpin langsung Bagir Manan berbeda dengan sebelumnya maka konstelasi dukungan politik dari MA serta kekuatan Politik Kubu Sayang yang kuat serta tekanan politik di daerah seperti demonstrasi, kerusuhan, konflik-konflik horizontal dan kritik-kritik di MA dan Pemerintah akhirnya mampu merubah putusan MA dengan memenangkan PK KPUD Sulsel dengan Putusan PK MA No 02/PK/KPUD/2008.
Nampak jelas bahwa yang terjadi pada Pilkada Sulsel adalah pertarungan dan pergulatan Politik dan Hukum, dimana terjadi tolak-tarik antara “merubah keputusan politik dengan instrumen hukum serta merubah putusan hukum (putusan MA) yang juga dilakukan dengan intervensi politik sehingga menghasilkan produk hukum yang menguntungkan salah satu pihak yang berkepentingan”. Dengan demikian jelaslah bahwa hukum adalah putusan politik (law is a political decision). Dan aksioma politik hukum di Indonesia konstatasi hubungannya ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya juga terjadi dalam realitasnya. Semoga proses Pilkada yang membutuhkan banyak energi, banyak biaya termasuk cost sosial dan cost politik yang besar ini akan membawa perubahan di rakyat Sulawesi Selatan bukan sekedar permainan demokrasi semu (pseudo demokrasi).
Politik hukum yang benar akan dapat ditegakkan dengan etika politik (fatsun politik) yang baik dan political will yang benar.

Studi Politik Hukum di Indonesia

Studi Politik Hukum Indonesia
Oleh: Dody Wijaya

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (norma atau kaidah) perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa masyarakat itu. Petunjuk hidup itu harus dilengkapi atau dikuatkan dengan anasir yang bersifat memaksa (element van dwang). Dengan kata lain hukum adalah kaidah adalah petunjuk hidup yang memaksa. (E Utrecht)

Hukum merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat (levensvoorschriten) sehingga hukum akan selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Hukum disebut-sebut sebagai ”is a tools and engineering society’s”, dengan demikian hukum adalah instrumen yang tepat untuk mengatur, memaksa, dan menegakkan keadilan dan kebenaran di masyarakat. Semboyan hukum yang sering dijadikan adagium di dunia hukum adalah fiat justitia ruat coelum, ”tegakkanlah hukum meskipun langit akan runtuh”. Hukum dianggap berfungsi sebagai penegak keadilan dan kepastian hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika, analisis normatif dan dogmatis merupakan satu-satunya cara yang dianggap paling memadai, dan tidak diperlukan metode dan pendekatan (approach) yang lain untuk membantu melakukan pengkajian hukum. Metode normatif dan dogmatis demikian, dipandang mencukupi kebutuhan (self-sufficient), sedang hukum makin menjadi bidang yang esoterik. Keadaan dan perkembangan demikian, tentunya berhubungan dengan peranan yang semakin besar dari hukum dalam mendukung dan mengamankan kemajuan masyarakat sebagaimana dise-butkan di atas, serta kepercayaan yang semakin besar kepada hukum.(Satjipto Rahardjo)

Namun, suasananya segera menjadi berbeda, tatkala cara-cara memandang dan menjalankan hukum yang demikian itu berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat keberhasilan dari modernisasi dan industrialisasi. Kedudukan individu sekarang mulai disaingi oleh tampilnya subjek-subjek lain, seperti komuniti, kolektiva, dan negara. Bidang-bidang yang kemudian menjadi makin menonjol adalah hukum publik, hukum administrasi, hukum sosial-ekonomi, dan lain sebagainya. Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat

Analisis yang tidak jauh berbeda dikemukakan Donald H. Gjerdingen. Gjerdingen menjelaskan bahwa pendapat beberapa aliran hukum konvensional yang menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Pendapat yang menafikan relasi hukum dengan entitas bukan hukum menyebabkan hukum cenderung membatasi diri pada hal-hal yang sangat teknis, sehingga permasalahan yang muncul akibat dari interaksi antara hukum dan politik misalnya, tidak bisa dijelaskan.(Donald H. Gjerdingen)

Dalam perkembangan masyarakat modern sekarang, dan konteks ke-Indonesiaan saat ini pun, masyarakat banyak merasa heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti yang dipahami dan dibayangkan sesuai kehendak masyarakat. Masyarakat banyak merasa heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.(Mahfud MD)

Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dari realitas sosial di atas menunjukkan hubungan antara politik dan hukum atau seringkali disebut sebagai kajian tentang politik hukum.

Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legalpolicy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

Politik dan hukum (Alfian) dapat diibaratkan sebagai dua sisi dari satu mata uang logam. Pengibaratan itu memberi makna bahwa hubungan antara politik dan hukum sangatlah erat. Bila kita membahas atau membicarakan penyelenggaraan negara atau pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah maka politik dan hukum selalu mendapat tempat yang utama. Pada masa Orde Baru bidang hukum selalu disatukan dengan bidang politik atau pembangunan hukum menjadi bagian dari pembangunan politik. Hal tersebut bukan berarti bidang politik dan hukum atau masing-masing bidang tersebut tidak erat kaitannya dengan bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial budaya, hankam, luar negeri dan sebagainya. Tetapi hubungan hukum dan politik melebihi keeratan hubungan kedua bidang tersebut dengan bidang-bidang lainnya itu. Hukum selalu menjadi sarana dari politik untuk mempengaruhi, membangun dan mengembangkan bidang-bidang lainnya itu. Dalam hal inilah berlaku tesis bahwa "hukum adalah putusan politik" (law is a political decision).

Alfian menyebutkan "Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat dicari dalam bidang hukum tata negara (constitutional law) Bidang ini mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. la menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota masyarakat (warga negara), serta bagaimana peraturan permainan politik yang sebenarnya harus berlaku. Semua hal itu dikupas secara legal formal, yaitu sebagaimana yang diinginkan oleh Undang Undang Dasar. Dari situ akan terlihat kerangka formal dari suatu bentuk pemerintahan yang dianggap mencerminkan suatu sistem politik yang ideal.

Dalam kenyataan sehari-hari, apa yang diatur secaral formal (hukum) itu tidak selalu diikuti secara seksama. Bahkan kadang-kadang tampak bahwa praktek-praktek politik yang berlaku dengan seenaknya menginjak-injak konstitusi yang ada, sebagaimana sering terlihat pada waktu seseorang atau satu golongan atau kelompok memaksakan kekuasaannya dengan jalan kekerasan tanpa mengindahkan peraturan permainan politik. Sistem politik (ideal) menjadi sangat berbeda dan mungkin sekali bertentangan dengan sistem politik yang riil berlaku. Sebagian ahli mungkin melihat kenyataan seperti itu sebagai suatu pemerkosaan terhadap hukum ketatanegaraan. Pemakaian kekuasaan politik yang sewenang-wenang seperti itu biasanya juga cenderung untuk memperkosa hukum yang mengatur bidang-bidang lain seperti perekonomian dan kepegawaian. Peningkatan pengetahuan atau kesadaran politik bisa dilakukan melalui proses politik masyarakat, semakin mudah pula mereka melihat apakah praktek-praktek politik yang berlaku dapat dikatakan menyeleweng atau tidak. Mempercepat proses pendidikan politik berarti menuntut lebih banyak dari kita semua atau terutama dari mereka yang duduk dalam pemerintahan, untuk menjaga dan mempertahankan kemantapan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada dan ingin dibangun.
Tuntutan itu menghendaki agar supaya tingkah laku politik semakin disesuaikan dengan kehendak peraturan-peraturan hukum yang mengaturnya, seperti bagaimana kekuasaan itu harus dipakai dan dibagi. Di sinilah ditemukan kembali hubungan yang erat antara hukum dan politik.

Disertasi Politik Hukum di Indonesia
Disertasi doktor Moh Mahfud MD yang dibuat di UGM (1993) yang berjudul ”Politik Hukum di Indonesia”, menyimpulkan bahwa fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali di intervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia, perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ ortodoks. Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokratis dan otoriter, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dengan tolak tarik antara yang responsif dan konservatif.
Kesimpulan studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum yang berkarakter responsif/ populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Setiap orang dan setiap masyarakat yang mencintai keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif. Karena hukum responsif hanya dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis, dan untuk melahirkan hukum-hukum yang responsif maka diperlukan demokratisasi di dalam kehidupan politik.